No Title

Royal men

Abstract


Surga Yang Tak Dirindukan adalah novel karya Asma Nadia yang menceritakan tentang kehidupan perempuan yang terbelenggu oleh budaya patriarki yang sangat kuat, yang jugatelah membedakan peran dalam gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama di berbagai sektor kehidupan, akan tetapi budaya patriarki telah membatasi banyak hal yang menyebabkan perempuan tidak memiliki kesempatan untuk meraih peluang, sehingga jelas ada diskriminasi terhadap perempuan.

Novel Surga Yang Tak Dirindukan adalah salah satu bentuk dari cipta sastra manusia. Sastra berasal dari kata sas (ajaran) dan tra (alat). Jadi, sastra adalah alat (wahana) untuk mengajarkan kearifan hidup. Kearifan hidup tidak lain adalah suatu kebenaran. Sastra adalah fenomena yang menggunakan bahasa khas, untuk menyampaikan sebuah kebenaran. Yang menjadi masalah setiap kebenaran dalam sastra dan filsafat itu sering dibungkus dengan kata indah. Kebenaran menjadi tertutup dan tersembunyi (Endraswara, 2012:2).

Endraswara (2013:143) mengemukakan bahwa sejak dulu karya sastra telah menjadi Culture Regime dan memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Paham tentang perempuan sebagai orang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif, dan sejenisnya selalu mewarnai karya sastra. Citra perempuan dan pria tersebut seakan-akan telah mengakar di benak penulis sastra. Sampai sekarang, paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap perempuan. Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis pria maupun perempuan, dominasi pria selalu lebih kuat. Hal yang sama juga terlihat pada pemilihan tokoh-tokoh yang tampak mengedepankan perbedaan gender. Figur pria terus menjadi the authority, sehingga mengasumsikan bahwa perempuan adalah impian. Perempuan selalu sebagai the second sex, warga kelas dua dan tersubordinasi.

Ratna (2004:190-191) menyatakan tentang feminis, khususnya masalah-masalah mengenai wanita, pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan wanita untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun dalam bidang sosial budaya pada umumnya. Kondisi-kondisi fisik perempuan yang lebih lemah secara alamiah hendaknya tidak digunakan sebagai alasan untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisinya yang lebih rendah. Pekerjaan perempuan selalu dikaitkan dengan memelihara, pria selalu dikaitkan dengan bekerja.

Menurut Mustaqim (2003:1) sistem patriarki yang berlaku hampir di seluruh masyarakat telah menganggap sebuah asumsi bahwa kodrat seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya daripada laki-laki dan mereka harus tunduk kepada kekuasaan laki-laki demi terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis.Budaya patriarki yang kuat membuat poligami menjadi alasan yang kuat untuk kaum laki-laki membenarkan praktek poligami. Banyak alasan dikemukakan untuk membenarkan praktek poligami, salah satunya asumsi bahwa poligami merupakan sunnah Nabi. Realitasnya, umat Islam mempraktekan poligami, tetapi melupakan pesan moral Islam untuk menegakkan keadilan. Kaum perempuan khususnya dalam posisi sebagai istri dalam kenyataannya sehari-hari mereka dituntut agar dapat melaksanakan kewajibannya. Lebih memprihatinkan lagi, bahwa kewajiban dipikul oleh mereka seringkali lebih berat, dan realita yang ada menunjukkan bahwa hak-hak mereka lebih banyak diabaikan.


Full Text:

XML


DOI: https://doi.org/10.32682/sastranesia.v1i1.104

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2017 Journal Program Studi Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia



Diterbitkan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia  STKIP PGRI Jombang

Jl. Pattimura III/20, Jombang, Jawa Timur, Indonesia

Saat ini, Sastranesia: Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia is telah diindeks oleh:

  
    
     
     
     
     
Dedicated to:


Flag Counter

 

View My Stats

Website Resmi STKIP PGRI Jombang http://stkipjb.ac.id/